Dewasa  ini, dunia kewirausahaan (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai  diminati oleh masyarakat luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak  orang merasa masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang  melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa  kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan,lingkungannya  para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan  lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan sering dianggap sebagai wacana  tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri seakan-akan  merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.
Bukan hanya  sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata  beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang  mirip dengan itu. Pada beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut  menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang katanya berhasil menjadi kaya,  dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari  tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai  orang-orang terkemuka yang dekat dengan para pejabat pemerintahan.
Terlepas  dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta  bagaimana cara mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti  persoalan : “Benarkah kewiraswastaan merupakan wacana tentang bagaimana  caranya untuk menjadi kaya ?”
Kalau bicara sekadar menjadi kaya,  tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha,  sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di  Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau  pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general  manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan, ada pengemis jalanan  berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas  bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk  para koruptor dan pengemis, menjadi figur panutan dalam wacana  kewirausahaan ? Rasanya tidak lah ya..?
Kewiraswastaan atau  kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya.  Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di  Indonesia sejak 3 dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar  menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan  kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah  berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk  menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : “Keterampilan mengemudi  bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu  kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita  menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan  bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi  bergerak dan berjalan dengan stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai  keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak, menurun dan lain  sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.  Kecepatan adalah soal lain..”
Apa yang dikatakan sang instruktur  memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat  kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan.  Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil  seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena  kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mencuri,  merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya  kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk,  mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak  berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Seberapa  kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, cara-cara  yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian  bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih  berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan  bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.
Dalam  kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan  produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah  prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri  dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses dan  kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup  bermewah-mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan  kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan pakaian dan perhiasan  yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang kepada  masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan  jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan  seorang pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya dia. Kewiraswastaan  hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik adalah sosok  pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada  saat jatuh.
Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wiraswasta” yang  menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula  kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan  sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.
Terkadang orang  tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang  swasta” tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati,  meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini  disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira”, yang mempunyai makna  luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa  kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang  wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam  berbisnis.
Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah,  tidak dapat dikatakan sebagai wiraswastawan sejati, selama harta yang  dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak benar seperti kolusi,  memeras, menipu, mafia-isme dan lain-lain aktivitas sejenis.
Saya  menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah  “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing  “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya  terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada  dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan  badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya,  “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka  kemudian timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam  penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya  istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi.
Saya  berpendapat, istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada  orang-orang dari kalangan perusahaan swasta. Sebagai istilah yang  mewakili kata “entrepreneurship”, penggunaannnya sudah sangat universal,  sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi,  sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata  wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut :
wira = luhur, berani, jujur, ksatria.
swa = sendiri.
sta = berdiri.
Jadi,  maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan  berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur.  Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani  memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri,  mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan  sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat  keserakahan dan kecurangan.
Definisi di atas tidak membatasi bahwa  wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri.  Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk  koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan  karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status  formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang  wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”,  atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan  bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para  distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana  agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara  mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju  ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri  kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai  kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada  yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.
Betapa pun saya  menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal  tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa  Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab  itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan  “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.
Beberapa  aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas  maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :
1).  Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri  atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.
2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.
3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.
4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.
5).  Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran,  sales representative, business representative, salesmen/girl door to  door.
6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.
7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.
8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.
9).  Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan  belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.
10). Para makelar yang jujur.
11).  Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan  besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau  manajer.
12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh