Kali ini kukuh blog akan berbagi tentang kisah islami yang mengandung nilai religius. Sebenarnya cerita di bawah ini adalah renungan bagi kita semua yang penuh dengan dosa-dosa. Silahkan baca kisahnya dibawah ini.
Paku di Tiang
Beberapa waktu yang silam, ada
seorang ikhwah yang mempunyai seorang anak lelaki bernama Mat. Mat membesar
menjadi seorang yang lalai menunaikan seruan agama. Meskipun telah banyak
berbuih ajakan dan nasihat, seruan dan perintah dari ayahnya agar Mat bersembahyang,
puasa, zakat dan lain-lain, dia tetap meninggalkannya. Sebaliknya amal
kejahatan pula yang menjadi rutinitasnya.
Suatu hari seorang ikhwah
tersebut memanggil anaknya dan berkata, "Mat, kau ini sangat lalai dan
terlalu banyak berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku
ke tiang di tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan,
maka aku akan tancapkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat
satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini". Ayahnya
berbuat seperti mana yang dia janjikan, setiap hari dia akan memukul beberapa
batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu
hari. Jarang-jarang benar dia mencabut keluar paku dari tiang.
Hari silih berganti, beberapa
purnama berlalu, dari musim hujan berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun
beredar. Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan
tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu
dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat karena hujan dan panas. Setelah
melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang menjijikkan
tersebut, timbullah rasa malu. Maka dia pun beniat untuk memperbaiki dirinya.
Mulai detik itu, Mat mulai sembahyang. Hari itu saja lima butir paku dicabut
ayahnya dari tiang. Besoknya sembahyang lagi ditambah dengan sunnah-sunnahnya.
Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya Mat tinggalkan sisa-sisa
maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi
hari, semakin banyak kebaikan yang Mat lakukan dan semakin banyak maksiat yang
ia tinggalkan, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat
di tiang.
Maka ayahnya pun memanggil
anaknya dan berkata, "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan aku akan
mencabutnya sekarang. Tidakkah kamu gembira?" Mat merenung pada tiang
tersebut, dia mulai menangis tersedak-sedak. "Kenapa anakku?" tanya
ayahnya, "Aku menyangka kau gembira karena semua paku-paku tadi telah
tiada". Dalam nada yang sayu Mat mengeluh, "Wahai ayahku, sungguh
benar katamu, paku-paku itu telah tiada, tapi aku bersedih lubang-lubang dari
paku itu tetap ada ditiang, bersama dengan karatnya".
Sesuatu yang dimuliakan, dengan
dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hingga akan menjadi suatu
kebiasaan, dan kita mungkin bisa mengatasinya atau secara berangsur-angsur kita
dapat menghapuskannya, tetapi ingatlah bahwa bekas yang ia tinggalkanya tidak
akan hilang. Dari situ, bilamana kita merenungi untuk melakukan suatu kemungkaran,
ataupun sedang berniat melakukan kemungkaran, maka berhentilah. Karena setiap
kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah
paku lagi yang akan meninggalkan bekas lubang pada jiwa kita, meskipun paku itu
kita cabut kemudiannya. Apa lagi kalau kita biarkan sampai berkarat dalam diri
ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak
dicabut.